Bukan Hanya Plastik, Industri Tekstil Turut Sebabkan Krisis Lingkungan!

Maraknya street fashion yang populer berkat Citayam fashion week ini membuat banyak orang semakin berani mengekspresikan dirinya melalui mode berpakaian. Satu hal yang perlu disadari melalui fenomena Citayam fashion week adalah begitu cepatnya perubahan tren dalam dunia fashion yang berkaitan erat dengan dunia garmen dan tekstil. Cepatnya perubahan ini sayangnya menjadi salah satu penyebab tingginya limbah yang dihasilkan industri yang satu ini. Tekstil telah tercatat sebagai industri dengan limbah terbesar kedua di dunia. Hal ini terjadi karena limbah industri tekstil dihasilkan dalam setiap fase produksi mulai dari proses pemintalan hingga pembuatan garmen kepada konsumen akhir. Pada tahun 2020 sendiri, menurut data Fibre2Fashion 18,6 juta tons limbah tekstil berakhir di landfill. Di Indonesia sendiri menurut data YouGov tercatat 66% orang di Indonesia membuang setidaknya satu pakaian setiap tahunnya dan 25% lainnya membuang lebih dari 10 pakaian per tahunnya.

Yang Perlu Kamu Ketahui Tentang Limbah Tekstil

Industri tekstil dan garmen merupakan industri yang penting bukan hanya untuk perekonomian dunia namun juga perekonomian Indonesia dengan menjadi salah satu penghasil devisa negara terbesar dan berhasil menyumbang hampir tujuh persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun sayangnya limbah yang dihasilkan juga berkontribusi besar terhadap kerusakan lingkungan. 

Faktor yang kebanyakan orang tidak pertimbangkan adalah bagaimana dampak pakaian kita terhadap lingkungan. Produksi tekstil sendiri membutuhkan sejumlah besar bahan kimia, air, energi, dan sumber daya alam lainnya. Menurut World Resources Institute, dibutuhkan 2.700 liter air untuk membuat satu pakaian katun. Terlebih lagi, ketika konsumen membuang pakaiannya, bukan hanya uang dan sumber daya yang terbuang namun juga menjadi penyebab terjadinya penumpukan sampah di landfill. Fenomena penumpukan ini terjadi karena tekstil  memerlukan hingga 200 tahun untuk bisa benar-benar terurai.

Selain itu, limbah industri tekstil tergolong limbah cair dari proses pewarnaan yang merupakan senyawa berbahaya. Selama proses dekomposisi, tekstil mampu menghasilkan gas metana rumah kaca dan melepaskan bahan kimia beracun seperti pewarna ke dalam air dan tanah. Menurut European Parliament, limbah dari industri tekstil bertanggung jawab atas sekitar 20% pencemaran air secara global. Setiap tahunnya, apabila bahan sintetis tekstil tercuci, bahan tersebut dapat melepaskan sekitar 0,5 juta ton mikrofiber ke laut dan 35% mikroplastik primer di lingkungan. Sedangkan secara global kurang dari 1% pakaian yang sudah didaur ulang (recycle).

Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Selain mendorong produsen untuk lebih fokus mengolah limbah industri tekstil, sebagai konsumen kita dapat ikut andil dalam mengurangi limbah tersebut dengan menggunakan bahan tekstil organik dan menerapkan 5R (Refuse. Reduce, Reuse, Repurpose, and Recycle). Salah satu bahan tekstil alternatif yang dapat kita pilih adalah kapas organik. Kapas organik sendiri ditanam tanpa menggunakan bahan kimia berbahaya bagi tanah, udara, air, dan kesehatan orang-orang yang menanam kapas.

Menurut hasil penelitian, kapas organik menghasilkan sekitar 46% lebih sedikit CO2 dibandingkan dengan kapas konvensional. Kapas organik juga membutuhkan jauh lebih sedikit air untuk bertumbuh. Kapas organik ditanam menggunakan metode dan bahan yang berdampak rendah terhadap terhadap lingkungan dengan mengurangi penggunaan pestisida dan pupuk sintetis lainnya.

Sebagai salah satu bahan yang paling banyak digunakan di industri tekstil dan pakaian, sangat penting untuk memilih kapas organik agar kita bisa membantu mencegah semakin banyaknya limbah tekstil yang sudah menumpuk di bumi. Karena itu, memahami pentingnya kehadiran kapas organic sebagai bahan alternatif. Morning Whistle  hadir memberikan alternatif untuk menjawab permasalahan limbah tekstil di dunia. Bambu dipilih sebagai bahan utama alternatif karena bambu dapat tumbuh secara alami dengan menggunakan air hujan dan dalam pertumbuhannya, bambu tidak menggunakan pestisida atau bahan kimia lainnya. Selain itu serat bambu 100% dapat terurai (biodegradable) dalam jangka waktu yang singkat dibandingkan material sintetis lainnya. Tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, bambu dipilih karena seratnya memiliki daya serap 4x lebih tinggi daripada katun biasa dan mengandung Penny Quinone yang berfungsi sebagai anti bacterial alami yang mampu menjaga Kesehatan kulit, terutama kulit sensitif. 


 

Source:

https://nationalgeographic.grid.id/amp/133295611/gerakan-tukar-baju-mengemuka-di-tengah-ancaman-limbah-tekstil?page=2

https://www.tatatirta.co.id/limbah-tekstil/

https://www.swedishlinens.com/blogs/news/organic-vs-conventional-cotton#:~:text=Organic%20cotton%20is%20grown%20without,rain%20far%20more%20than%20irrigation

http://letswhistle.com/sustainability

https://thinkconscious.id/en/not-plastic-textile-waste-is-the-biggest-contributor-to-waste-in-indonesia/